September Post: Hiraeth



"We're all lonely for something we don't know we're lonely for. How else to explain the curious feeling that goes around feeling like missing somebody we've never even met?"
- David Foster Wallace


{September 4, 2015}
Malam ini aku terjaga. Kuputuskan untuk duduk dan merenung. Ya, memikirkan banyak hal, dari yang penting sampai tidak penting, dan entah kenapa, semua pemikiranku mengarah pada sesuatu, sesuatu yang selama ini kusimpan bagi diriku sendiri.

"Hei, Karen... Sepertinya, kau lahir di era yang salah."
Aku bukannya pembenci teknologi dan perkembangan jaman, justru sebaliknya, saya mengamati perkembangan teknologi dan bersyukur serta menikmati itu. Tapi... entah kenapa sepertinya diri saya seperti berasal dari masa lampau.
Well, Banyak hal yang bisa menjadi bukti bahwa saya memanglah berasal dari sebelum era milenium. (Ini masih teori ya, jadi sekiranya janganlah anda sekalian langsung menghujat saya ...)
    Pertama, saya mencintai sejarah.
Hey... Tunggu dulu, katamu. Aku juga cinta sejarah! Setidaknya nilai sejarahku pernah 82!
Teman, apa sih yang kamu mengerti tentang cinta? Cinta itu gak diukur dari nilai, tapi dari rasa kepemilikan *eak*
Maksud saya dari rasa kepemilikan adalah, ketika saya merasa dimiliki dan memiliki oleh sesuatu tersebut. Jadi saya merupakan objek sekaligus subjek.

Nah, saya merasa belonged to history. Sepertinya sudah sejak kecil saya menyukai cerita sejarah. Saya menghabiskan waktu membaca buku sejarah dan mencari tahu tentang sejarah lewat aplikasi ensiklopedia. Bayangkan seorang bocah 7 tahun membaca karya sejarawan tentang Peradaban Sumeria dan Kekaisaran Jepang dalam bahasa Inggris. Kadang saya seperti berada masuk dalam sebuah kisah. Seperti deja vu, saya seakan pernah ada dalam situasi itu sebelumnya.

   Kedua, saya menyukai ide-ide, filosofi, budaya dan seni lama.
Bukan sombong... tapi hitunglah jumlah pemuda yang membaca filsafat Plato, mendengar musik barok dan Elvis, serta mengagumi lukisan Erulo Erouli.

- Erouli, The Martyrdom of Saint Sebastian (akan dijelaskan di post berikutnya)

   Ketiga, nilai-nilai dan pendirian saya mungkin, um... bisa dibilang... agak kolot.
Bicara soal nilai dan pemahaman, saya lebih nyambung bicara dengan orang yang lebih tua dibanding dengan teman sepantaran. Mungkin karena saya agak old-fashioned. Saya ingat ketika saya pernah ditembak orang, akhirnya jadi saya yang balik menguliahi dia soal pacaran dan dasar kasih. Bahkan saya mencoba meluruskan pemahaman dia bahwa pacaran bukanlah untuk having fun. Hasilnya, ya... dia langsung balik kanan, cari cewek lain yang lebih "sevisi" dengan dia. Hahah.

   Keempat, karena saya telah jatuh cinta dengan orang yang belum pernah saya temui. Bahkan... tidak akan pernah bisa bertemu.
Kata orang, paling sedih adalah ketika hidup kita dengan orang yang kita cintai seperti garis yang berpotongan pada satu titik, tapi keduanya bergerak ke arah yang berbeda.
Tapi versi saya, kesedihan (sekaligus keindahan dan keagungan) yang terbesar adalah, ketika anda mencintai seseorang yang bahkan belum pernah anda temui. Cinta itu hebat, bukan? Betapa luarbiasanya kasih itu, dapat membuat seseorang dari jaman yang berbeda kagum akan seseorang dari lain era. Dan pada kasus saya, saya tidak akan mungkin bertemu dengannya di dunia ini (selain jasadnya di Taman Makam Pahlawan)


Ya, dia adalah Kapten Anumerta Pierre Andreas Tendean. 50 tahun sesudah ia pergi, ia masih saja membuat seorang gadis kagum padanya.
Saya pertama kali tahu Pierre Tendean setelah baca RPUL yang kertasnya abu-abu dan tintanya hitam-putih. Di hasil cetak yang tidak jelas itu, ketika saya memperhatikan wajah para pejuang, eh, kok ada yang beda ya, muda-muda gimanaa gitu. Tapi saya tidak mencari tahu lebih lanjut. Barulah ketika SMP saat saya mulai belajar tentang G30S, saya mulai mengenal sosok Robert Wagner dari Panorama.
Jujur ya, beliau... ehm... sangat ganteng. Sangat ganteng, sampai-sampai ada ungkapan begini di kalangan mahasiswi kala itu, "Telinga kami untuk Pak Nas, tapi mata kami untuk ajudannya (Pierre Tendean)"
Ia juga seorang yang sangat pintar. Lulus dari ATEKAD, masuk jadi letnan dua CZI, seorang intelijen yang berhasil melakukan infiltrasi 6 kali, dan seorang tidak takut bahaya.
Oke, bila soal fakta sejarahnya, internet dan blog sejarah mungkin lebih akurat dari saya, dan saya pada kesempatan ini juga tidak ingin membahas soal kronologi kehidupan pejuang ini dari lahir hingga detail pembunuhannya yang sangat sadis.
Tetapi membaca kisahnya sangat menaik untuk diikuti. Detail kesehariannya, karakternya yang dikenal sopan dan sangat dekat dengan keluarga, serta keberaniannya dalam menantang bahaya hingga akhir hayatnya tidak berhenti memukau saya sampai detik ini.


  Mungkin inilah yang dinamakan Hiraeth.
Sebuah kata bahasa Wales yang tidak ada terjemahannya dalam bahasa Inggris.
Oxford mencoba untuk mengartikan kata ini sebagai  "a homesickness for a home you cannot return to, or that never was"

Kurang-lebih mirip dengan kata Saudade dalam bahasa Portugis, yang lebih sering kedengaran. Hiraeth -ku, adalah sejarah. Masa yang lampau, hari yang telah tutup. Hiraeth- ku, adalah era yang telah berakhir, dan yang tersisa tinggal memori indah, reminiscence akan masa yang telah usai.

Bila saya dapat memilih, saya akan memilih hidup di masa lampau. Bila saya memiliki kesempatan untuk mengenal para seniman dan pemikir dunia, saya akan belajar sebanyak-banyaknya dari mereka. Dan bila saya mampu menyelamatkan seorang pemuda 26 tahun dari serangan G30S di rumah Jenderal Nasution, saya pasti akan melakukannya.

•••
Ah, tak terasa hari sudah lewat. Hari yang baru, lagi-lagi terjebak dalam waktu.
Ah, yang bisa kulakukan, hanyalah duduk di perpustakaan sekolah, membaca kisahmu.

Comments

Popular Posts