Tujuh Belas, Dua Ribu, dan Dua Ribu Tujuh Belas

Mei 2017.

Setelah kubuka laci ini kembali, sepertinya tulisan terakhirku adalah dari tahun 2015.

Hmm... 2 tahun berlalu, kemana aku selama ini?


Dalam 2 tahun ini, terjadi dua perubahan yang besar dalam hidupku:

Tujuh-Belas.

Di umurku yang ketujuhbelas, aku tidak lagi bermimpi besar. Aku hanya ingin menjadi wirausaha yang memiliki usaha crafting kecil-kecilan. Namun, karena aku ingin sekali kembali ke Bandung, aku tertarik untuk masuk ITB. Tepatnya, karena ITB lah universitas yang paling familiar di telingaku, dan untuk menyebutkannya sebagai angan-anganku pada waktu itu merupakan hal yang keren. Padahal, aku adalah anak IPS... notabene pilihanku pun cuma terbatas pada dua, yaitu Seni Rupa dan Desain atau Bisnis dan Manajemen. Karena aku merasa tidak jago-jago amat dalam seni, dan ditambah aku ingin membuat bisnis, pilihanku pun jatuh pada SBM ITB, jurusan Kewirausahaan.

Namun, tahun 2015 akhir, aku membuat keputusan terbesarku. Di umurku yang ketujuhbelas itu, aku merubah kembali haluanku, dari Kewirausahaan ITB menjadi Manajemen UI. Penyebabnya hanyalah karena satu kalimat yang diucapkan ibu di tengah malam, di pinggir tempat tidurku: "Mama gak bisa kalo kamu jauh-jauh dari mama." Dan berkat teman-temanku yang kerajingan ingin masuk universitas yang menyandang nama negara itu, yang dengan bangga menyebutkan berbagai singkatan dan istilah ke-UI-an seperti "spekun", "bikun", dan "kebun apel"* yang sukses membuatku penasaran, membuatku menempatkan pilihan itu sebagai pilihan satu-satunya di formulir pendaftaran SNMPTN.
Iya... sereceh itulah pemicu keputusanku :) (selain pertimbangan dari ranking angkatan, ya... hehe)

Ironisnya, saat pengumuman, akulah satu dari dua orang beruntung yang mendapatkan tiket masuk 'duluan' ke UI. Padahal aku hanya anak pindahan, hahaha... Jujur, akupun tak mengerti bagaimana caranya aku bisa mendapatkan kesempatan itu. Yang aku tau pasti, bila aku tidak masuk lewat jalur undangan, aku tak akan mampu masuk UI, karena aku sama sekali tidak mengikuti bimbingan belajar apapun untuk SBMPTN maupun SIMAK.


Dua Ribu.

Dalam satu malam saja rasanya status pelajarku berubah menjadi mahasiswa. Lalu, tiba-tiba saja semuanya berubah. Hidup indekos dengan duit pas-pasan, ditambah di awal-awal masih kagok memakai ATM, ya... hasilnya bergantung pada uang cash yang diberi orang tua tiap pulang. Sekarang, apa-apa serba sayang duit, termasuk dua ribuan. Kini, dua ribu yang sulit untuk dibelanjakan di kantin sekolah swasta, menjadi nominal kesayangan yang memenuhi dompetku. Hidupku sekarang tak jauh-jauh dari dua ribu. Bayangkan saja, setiap kembalian makanan, selalu ada dua ribu. Tiap mau naik ojek, bila mau menawar, harus ada uang pas... yang artinya siap sedia dua ribu. Dua ribu menjadi batas aman pembelian krupuk mecin dalam satu hari. Bahkan, kami rela berjalan lebih jauh untuk makan di tempat yang harganya dua ribu lebih murah. Ah, memang uang itu relatif. Meski tiap hari tidak sulit-sulit amat, namun setidaknya, aku belajar untuk lebih menghargai apa yang aku punya, dan tidak bergantung pada materi semata.

Dua Ribu Tujuh Belas

Tahun ini aku menghadapi semester terakhirku sebagai mahasiswa baru. Ah... tidak terasa ya. Dua ribu tujuh belas... sekalipun kulewati 2 perubahan besar itu, aku masih sama. Aku masih jomblo, masih heboh tidak menentu, masih belum bisa kerja di rumah, masih sama dengan selera humorku yang recehan. Dua ribu tujuh belas, justru semakin aku tak tahu kemana aku melangkah. Padahal setahun lagi, umurku seperlima abad. Dua ribu tujuh belas...

Ah, cukuplah. Setidaknya, aku sudah bertahan melewati 5 bulan awal di dua ribu tujuh belas.


Mari kita menulis lagi.


Comments

Popular Posts